Bintaharto’s Blog

Just another WordPress.com weblog

Aktualisasi Semangat Perjuangan Bangsa:

Memantapkan Kepemimpinan TNI dalam Menjaga Keutuhan NKRI

Oleh: Jend. (Purn.) Endriartono Sutarto

1. Pengantar

Indonesia adalah salah satu negara terbesar di dunia dengan tingkat kemajemukan dan disparitas yang sangat tinggi. Kemajemukan dapat dilihat dari beragamnya suku, agama, keturunan, budaya, dan bahasa daerah yang digunakan; sedangkan disparitas dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan, tingkat pendidikan, derajat kesehatan, dan peradaban secara keseluruhan. Kemajemukan dan kesenjangan adalah sumber perbedaan yang dapat mengarah kepada perpecahan. Karena itu, menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (KNRI) bukanlah tugas yang ringan.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Juga ditegaskan bahwa pertahanan negara disusun berdasarkan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum internasional, dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai. Pertahanan negara juga harus disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.

Kehidupan demokrasi kita dewasa ini merupakan keniscayaan. Jika ada sebagian masyarakat atau komponen bangsa yang memimpikan kembalinya sistem politik dan pemerintahan yang otoriter, maka seyogyanya mimpi itu harus dilupakan. Ada juga yang berargumen bahwa kemajemukan dan kesenjangan yang masih kental dalam kehidupan bangsa kita menjadi tantangan berat bagi berjalannya demokrasi. Meski selintas terkesan masuk akal, tetapi meninggalkan demokrasi dan kembali ke era otoritarianisme bukanlah pilihan yang tepat, sekurang-kurangnya karena dua hal: 1) kecenderungan dunia yang semakin meninggalkan otoritarianisme, dan 2) sebagai bangsa kita sudah belajar dengan ongkos yang sangat mahal bahwa otoriatarianisme pernah hampir membuat bangsa ini hancur berkeping-keping.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan negara harus menjalankan tugas pokoknya di tengah-tengah situasi dan kondisi bangsa yang penuh dengan tantangan. Di satu sisi, demokrasi dan HAM harus dijunjung tinggi, di sisi lain penegakan kedaulatan dan upaya menjaga keutuhan NKRI sering kali harus bersentuhan dengan persoalan-persoalan yang dilematis di bidang HAM dan demokrasi. Terlebih lagi jika mengingat bahwa dalam menjalankan tugas-tugasnya, TNI juga masih diliputi berbagai keterbatasan dan kekurangan sarana dan prasarana, maka tantangan itu semakin lengkap. Dalam suasana seperti inilah TNI dituntutut untuk terus berperan, menjaga harga diri dan kehormatannya. Kepemimpinan TNI baik ke dalam maupun ke luar, terus diuji sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, dan Tentara Profesional, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

2. Mengelola Kemajemukan

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atau kekuasaan warganegara atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pada hakekatnya, kemampuan suatu negara dan bangsa untuk menjalankan demokrasi identik dengan kemampuan mengelola kemajemukan. Suatu bangsa dapat berdemokrasi dengan sukses apabila bangsa tersebut mampu hidup berdampingan, bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama; di tengah berbagai perbedaan, sebesar dan setajam apapun perbedaan itu. Berdemokrasi berarti mengakui adanya perbedaan tersebut, memanfaatkan kelebihan dan kekurangan sesama untuk saling mengisi dan saling melengkapi, bahkan saling memperkuat satu sama lain.

Statistik Indonesia menjadi bukti betapa beragamnya kehidupan kita sebagai bangsa. Jumlah pulau di Indonesia menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 sebanyak 17.504 buah. 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Sebaran penduduk ini merefleksikan keragaman sub-kultur yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Pulau terpadat penduduknya adalah Pulau Jawa, di mana setengah populasi orang Indonesia menetap di pulau ini.

Indonesia memiliki suku-bangsa lebih dari 400. Di sepanjang khatulistiwa, kita memiliki sejumlah suku-suku besar seperti; Aceh, Sunda, Gayo, Karo, Mandailing, Minangkabau, Jawa, Bugis, Melayu, Dayak, Ambon, dan suku-suku di Papua. Indonesia juga memiliki sekitar 742 bahasa daerah yang sampai saat ini masih digunakan oleh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia menganut lima agama besar: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Sebagian dari mereka ada yang menganut aliran kepercayaan tertentu.

Proses berbangsa dan bernegara yang telah dilalui oleh Indonesia, ternyata tidak serta merta menghasilkan kemajuan secara kolektif. Sebagian kecil masyarakat memang menikmati kemajuan yang luar biasa di bidang ekonomi dan kesejahteraan, tetapi sebagian besar masyarakat kita masih kurang beruntung. Saat ini ekonomi Indonesia telah cukup stabil. Pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2004 dan 2005 melebihi 5% dan diperkirakan akan terus berlanjut. Namun demikian, dampak pertumbuhan itu belum cukup besar dalam mempengaruhi tingkat pengangguran, yaitu sebesar 9,75%. Dari 237 juta penduduk, sebanyak 17,8% masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, dan terdapat 49,0% atau lebih dari 118 juta masyarakat yang hidup dengan penghasilan kurang dari Rp 20 ribu per hari.

Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif memang telah berkembang dengan pesat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233, dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545, telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Namun masih terdapat sisa pada masalah pendidikan kita. Hal ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun.

Secara kasat mata, kesenjangan juga dapat dilihat antara kehidupan masyarakat kota dengan desa, antara masyarakat di Jawa dan pulau-pulau besar, dibandingkan dengan yang hidup di pulau-pulau kecil, antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Demikian besar kesenjangan itu terjadi, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa masyarakat kita di seluruh Indonesia menjalani kehidupan di tiga era peradaban pada waktu bersamaan: sebagian ada yang masih hidup pada peradaban batu, sebagian masih hidup pada era peradaban agrarian, dan sebagian kecil ada pada peradaban modern dengan industri, telekomomunikasi, dan teknologi informasi.

UU No. 3/2002 menyebutkan bahwa sistem pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pertahanan. Dalam pelaksanaannya, pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa, serta menanggulangi setiap ancaman. Karena itu, dalam memikirkan sistem pertahanan negara, mau tidak mau kita harus secara terus menerus memperhatikan kemajemukan dan kesenjangan kehidupan masyarakat, sebagai suatu variabel yang cukup menentukan kemampuan dan daya tangkal bangsa kita. Meskipun tugas utama TNI pada dasarnya adalah menangkal gangguan yang bersifat militer, tetapi sejarah dan jati diri TNI sebagai Tentara Rakyat, tidak dapat begitu saja mengabaikan kehidupan masyarakat secara keseluruhan sebagai salah satu komponen pertahanan negara. Menjadi komponen utama dalam penyelenggaraan pertahanan negara, TNI harus terus meningkatkan kemampuan untuk membaca tanda-tanda jaman. Berbagai kecenderungan di berbagai bidang seperti ideologi, politik, sosial-budaya, dan perekonomian, tetap harus dicermati, agar TNI tidak tercerabut dari akarnya sebagai Tentara Rakyat dan Tentara Pejuang.

3. Mengelola Transisi Demokrasi

Pernah ada suatu masa dimana TNI dihadapkan dengan demokrasi. TNI ditempatkan sebagai penghalang demokratisasi, karena sistem pemerintahan pada waktu itu dikatakan lekat dengan militerisme. Presiden Soeharto menjalankan pemerintahan secara otoriter dengan kekuatan penyangga utama dari kalangan militer, dengan pola pikir bahwa pembangunan ekonomi harus diprioritaskan, karena kehidupan perekonomian rakyat pada waktu Orde Baru memulai pemerintahannya dengan sangat memprihatinkan. Inflasi begitu tinggi, rakyat kesulitan untuk memperoleh pangan sekalipun, dan perekonomian mengalami keterpurukan yang luar biasa. Pada masanya, sistem pemerintahan yang serba sentralistis, top-down, tegas, dan tidak memberi ruang cukup bagi rakyat untuk bersuara; terbukti sukses mendorong pembangunan ekonomi. Selama tiga dekade, pembangunan ekonomi berjalan baik, ekonomi tumbuh, pendidikan mengalami kemajuan, kesejahteraan masyarakat meningkat, dan kemajuan Indonesia diakui dunia.

Kemajuan ekonomi, kesejahteraan, dan semakin membaiknya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat, menjadikan hasil pembangunan sebagai trigger bagi perubahan sistem politik dan pemerintahan. Rakyat yang semakin cerdas, didukung oleh kemajuan sistem informasi dan teknologi menyebabkan suasana berbangsa dan bernegara berubah total. Mereka menjadi semakin ingin didengar, dilibatkan, dan dijadikan bagian dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Kecenderungan dunia yang semakin mengarah pada demokratisasi di mana-mana telah menjadi inspirasi bagi rakyat Indonesia untuk mendorong proses demokratisasi. Maka sistem yang lama tidak lagi cocok dengan perubahan jaman. Era otoritarianisme harus berakhir dan berganti dengan era demokrasi. Perubahan besar di bidang politik dan pemerintahan terjadi pada tahun 1998, yang kita kenal dengan Reformasi.

Kita patut bersyukur, perjalanan Reformasi selama 10 Tahun terakhir ini tidak seperti yang diperkirakan beberapa kalangan. Ketika proses reformasi baru dimulai, banyak yang mencemaskan kehancuran Indonesia akan terjadi, seperti yang terjadi di Eropa Timur atau belahan dunia lainnya. Sejarah membuktikan, seluruh proses berjalan dengan baik, meski ada letupan konflik dan ekses di sana-sini. Amandeman Undang-undang Dasar 1945 berjalan dengan damai, pemilu demi pemilu berjalan lancar dengan tidak adanya gangguan yang berarti; konflik lokal dan gerakan separatisme di berbagai wilayah dapat diatasi dengan baik. Dalam keseluruhan proses ini, peran Tentara Nasional Indonesia sangatlah sentral.

Keteguhan sikap dan pendirian TNI untuk mengembalikan jati diri dan kembali ke tugas pokok merupakan faktor penentu yang sangat besar, karena sepanjang proses transisi menuju demokrasi, tarikan dan godaan kepada TNI demikian kuat. Kita patut bersyukur dan bangga bahwa semua tarikan dan godaan itu dapat dihadapi dengan bijaksana, sehingga sampai hari ini TNI berhasil membangun kembali identitasnya yang netral, dan menjaga kehormatan dan harga dirinya sebagai komponen pertahanan bangsa. Masih segar dalam ingatan kita, bahwa ada dua fenomena penting yang menjadi kontribusi terbesar TNI dalam menata kehidupan politik negara yaitu: 1) dorongan kuat TNI dalam proses amandemen Undang-undang Dasar 1945, dan 2) mempercepat penarikan anggota TNI/Polri dari Parlemen, yang semula dijadwalkan tahun 2009, dipercepat menjadi tahun 2004. Dua hal ini telah menjadi tonggak sejarah penting, baik bagi perjalanan TNI kembali ke fungsi utamanya, maupun bagi perjalanan demokratisasi di Indonesia.

Kini kita memasuki tahun ke-11 setelah reformasi. Selama 10 tahun silam, kita telah berhasil menyelenggarakan 3 kali Pemilu, termasuk dua kali Pemilihan Presiden secara langsung. Banyak pengamat mengatakan bahwa Pemilu di Indonesia merupakan Pemilu paling rumit di dunia, dengan memperhatikan letak geografis, jumlah partai politik peserta pemilu, dan sistem yang harus dijalankan. Dan syukur Alhamdulillah, serumit apapun ternyata Pemilu berjalan dengan damai, lancar, dan relatif kecil permasalahan yang timbul. Namun demikian, demokrasi kita masih dalam proses menemukan bentuknya yang paling pas bagi masyarakat bangsa kita. Tidak salah kiranya, kalau kita melihat demokrasi Indonesia masih dalam proses transisi.

Hari-hari ini kita sedang dihangatkan dengan suasana Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014. Pada Pemilu legislatif yang baru saja berlalu, masyarakat harus memilih 38 Partai Politik. Jumlah calon legislatif anggota legislatif baik di Pusat, Provinsi, maupun kabupaten/kota mencapai lebih dari 12 ribu orang. Sepanjang tahun 2004 sampai dengan 2009 di seluruh Indonesia, tak kurang 499 pilkada telah diselenggarakan, dengan menghabiskan dana lebih dari Rp 81 triliun. Kita syukuri bahwa seluruh proses prosedural ini berjalan lancar tanpa kendala berarti. Konflik yang muncul di sana-sini masih dalam batas-batas terkendali.

Yang harus diwaspadai adalah apakah demokrasi prosedural yang sudah kita jalankan ini akan mencapai tujuan substantifnya? Apakah tujuan bernegara dan cita-cita proklamasi kemerdekaan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta dalam ketertiban dunia akan tercapai? Ada sementara kalangan yang mencemaskan pencapaian tujuan substantif berdemokrasi, jika kita tidak segera melakukan pelurusan-pelurusan. Kita menyaksikan adanya gejala euforia berpolitik yang tidak sehat. Beberapa fenomena misalnya jumlah partai yang terlalu banyak, tetapi tidak memberi pilihan jelas warna ideologi dan plafortm tiap partai. Begitupun pola koalisi yang tidak didasari pertimbangan ideologis dan warna kebijakan, melainkan lebih dilandasai warna kepentingan kekuasaan sesaat. Gejala lainnya adalah betapa mudahnya tokoh-tokoh partai politik berpindah haluan, bahkan berpindah partai yang secara ideologis berseberangan sama sekali; atau fenomena tokoh yang mendirikan partai poltitik baru ketika kalah oleh suatu proses politik. Hal-hal di atas menimbulkan kekhawatiran bahwa demokrasi kita akan disibukkan oleh prosedur dan kemasan, bukan oleh pikiran-pikiran yang diarahkan untuk mencapai tujuan bernegara. Kita berharap, agar para pemikir dan para pemimpin bangsa terus mencari formula yang tepat untuk terus menyempurnakan tata negara dan sistem politik kita, agar demokrasi benar-benar diabdikan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Bagi TNI, mencermati perkembangan demokrasi dari waktu ke waktu merupakan keharusan. Bukan untuk ikut serta dalam politik praktis, melainkan agar dalam mengelola tugas-tugas menjaga kedaulatan, mempertahankan keutuhan negara, TNI tidak lepas dari konteks dimana masyarakat dan bangsa hidup di dalamnya.

4. Tantangan menjaga keutuhan NKRI

Uraian terdahulu memberi gambaran berbagai faktor yang perlu mendapat perhatian dan perlu kita sikapi dengan bijaksana, dalam menjalankan tugas dan peran kita. Dalam hubungannya dengan tugas dan peran TNI, memang benar TNI merupakan komponen utama dalam menyelenggarakan sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer. Dalam UU 34/2004 tentang TNI dalam pasal 7, dijelaskan bahwa Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Namun demikian, dalam sistem pertahanan negara yang mau tak mau harus melibatkan seluruh komponen bangsa, dalam pelaksanaannya membutuhkan pra kondisi dari seluruh komponen bangsa untuk siap berpartipasi dalam hal ini. TNI berasal dari rakyat. Oleh karena itu TNI yang juga Tentara Rakyat, sadar betul bahwa kekuatan utamanya terletak pada hubungannya yang selalu dekat dan erat dengan Rakyat. Kedekatannya dengan rakyat memberikan kepada TNI dorongan moral dan mental yang berharga dalam menjalankan fungsinya sebagai kekuatan pertahanan yang andal. TNI sepenuhnya sadar, dan tidak dapat lepas dari konteks situasi dan kondisi bahwa bangsa ini adalah bangsa yang majemuk, bangsa yang masih memiliki kesenjangan, dan bangsa yang sedang membangun demokrasinya. Dalam setting sosial politik kenegaraan seperti itulan TNI harus menjalankan tugas utamanya menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI.

Secara fisik, wilayah NKRI juga memiliki banyak karakteristik yang tidak mudah untuk dikelola. Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki bentangan luas dan terbuka. Wilayah Indonesia berbatasan dengan sekurang-kurangnya 9 negara yaitu:India, Singapura, Thailand, Vietnam, Papua Nugini, Timor Leste, Malaysia, Australia, dan Filipina. Banyaknya negara yang berbetasan dengan kita menimbulkan potensi konflik perbatasan yang tidak sederhana. Indonesia memiliki sedikitnya 92 pulau terluar, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005. Indonesia merupakan negara berpantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Panjang garis pantai Indonesia tercatat sebesar 81.000 km. Bentang kawasan dari ujung barat, yaitu Sabang hingga ke timur di Merauke, setara dengan kawasan London di Inggris, hingga Baghdad di Irak. Sedangkan bentang ujung utara (Kepulauan Satal) hingga ke selatan (Pulau Rote) setara dengan jarak dari negara Jerman di benua Eropa hingga ke Aljazair di benua Afrika. Indonesia juga merupakan negara maritim besar, dimana tiga perempat wilayahnya berupa lautan, yang meliputi luas 5,8 juta kilometer persegi. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483 km².

Sebagai negara kepulauan dengan bentangan wilayah yang demikian luas, kebutuhan akan komunikasi dan sarana transportasi menjadi masalah tersendiri. Mempersatukan negara kepulauan dengan berates suku bangsa dan bahasa, seraya mengelola kemajemukan sekali lagi bukanlah tugas yang mudah. Begitupun tugas pokok TNI untuk menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan NKRI merupakan tugas berat yang harus dikelola dengan di tengah berbagai keterbatasan. Peralatan sistem persenjataan utama (alutsista) TNI tidak saja kurang memadai secara kualitas, tetapi juga tidak mencukupi secara kuantitatif. Kapal-kapal, pesawat, dan kendaraan taktis lainnya yang dimiliki TNI, di samping usianya sudah tua, pemeliharaanya tidak memadai, jumlahnya juga jauh dari mencukupi kebutuhan minimal.

Kita memahami bersama, sudah bertahun-tahun lamanya, kebutuhan anggaran kita tidak pernah dicukupi karena berbagai keterbatasan dan prioritas. Tahun ini misalnya, dari usulan anggaran sebesar Rp 127 triliun, hanya dipenuhi sejumlah Rp 33,6 triliun. Dari jumlah anggaran yang disetujui, Rp 20 triliun di antaranya dialokasikan untuk membayar gaji prajurit dan uang lauk pauk. Sisanya untuk menjaga kehandalan alutista melalui program pemeliharaan dan pengadaan yang jumlahnya serba terbatas. Di bandingkan dengan belanja pertahanan negara-negara Asean sekalipun, belanja pertahanan kita paling kecil, meskipun jumlah penduduk Indonesia jauh lebih banyak dari penduduk negara-negara Asean lainnya. Dalam hitungan USD, maka belanja pertahanan kita tahun ini berjumlah USD 2,6 miliar; bandingkan dengan Singapura yang mencapai USD 4,4 miliar atau Malaysia yang mencapai USD 3,5 miliar. Di bidang pembinaan kemampuan dan kesiapan prajurit, TNI juga mengalami keterbatasan. Uang lauk pauk kita misalnya, dari target yang dibutuhkan 3.600 kalori per hari, APBN kita baru dapat memberikan tidak sampai setengahnya, yaitu 1.700 kalori per hari.

Uraian di atas, sama sekali tidak dimaksudkan untuk membuat kita memandang dengan pesimistik tentang tantangan yang menghadang TNI dalam menjalankan peran dan tugas pokoknya; melainkan untuk member gambaran yang lebih realistis agar kita semua berfikir keras bagaimana mengatasi berbagai tantangan yang terbuka di depan mata. Tugas membela negara, menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI bukanlah tugas professional biasa, yang hanya dijalankan kalau semua syarat-syarat yang dibutuhkan terpenuhi. Tugas membela tanah air adalah suatu tugas yang disebut “beyond professional call of duty“; ada persyaratan atau tidak, cukup bekal atau tidak, memiliki perlengkapan atau tidak; tugas membela dan melindungi tanah air adalah merupakan suatu keharusan. Semangat inilah yang mengilhami para pejuang bangsa di masa lalu. Semangat ini pula yang mengobarkan semangat berperang melawan penjajah dan melahirkan kemerdekaan. Semangat inilah yang menjadi sumber dari lahir, tumbuh, dan berkembangnya Tentara Nasional Indonesia. Oleh karena itu, salah satu jati diri TNI kita adalah Tentara Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya.

5. Memantapkan Peran dan Kepemimpinan TNI

Hal-hal yang telah saya kemukakan di bagian terdahulu kiranya cukup memberi gambaran bahwa tugas menjaga keutuhan dan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia yang harus diemban TNI bukanlah tugas yang ringan. Ada banyak keterbatasan dan faktor-faktor yang menjadi kendala. Adalah suatu kenyataan bahwa TNI lahir dan tumbuh sebagai salah satu komponen dari bangsa yang besar, yang harus bekerja di tengah-tengah masyarakat yang tidak saja majemuk, tetapi juga memiliki tingkat kesenjangan yang cukup tinggi di semua bidang kehidupan. Bangsa besar, majemuk, dan memiliki kesenjangan ini, tengah menjalani proses transisi berdemokrasi yang menyebabkan nuansa kehidupan berbangsa ini demikian “gaduh”.

Dalam suasana seperti ini, TNI dituntut untuk benar-benar bersikap “correct”, tidak mentolerir kekeliruan. Sementara itu dalam tubuh TNI sendiri belum selesai berkutat dengan pemenuhan kebutuhan yang serba terbatas. Dalam kondisi yang serba tidak sempurna sebagaimana diuraikan di atas, patut kiranya kita memikirkan berbagai pertanyaan mendasar. Bagaimana TNI dan Kepemimpinan TNI menyikapi situasi di atas? Apa yang harus dilakukan untuk memantapkan kepemimpinan TNI? Bagaimana meyakinkan agar TNI tetap berperan dalam membangun pertahanan dan ketahanan bangsa?.

Sebagai bagian dari keluarga besar TNI, tempat dimana saya dibesarkan dan diberi kesempatan mengabdi kepada negara dan bangsa, saya ingin mengajak kita semua untuk tidak bosan-bosannya kembali kepada landasan norma dan landasan moral. Dalam keadaan apapun, yang menyelamatkan diri kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai suatu institusi adalah keteguhan pada norma-norma dan aturan. Seminar ini menjadi tonggak penting karena tema dari seminar ini mengingatkan kita pada nilai-nilai perjuangan bangsa, yang menjadi sumber semangat lahirnya TNI sebagai Tentara Pejuang. Menggali nilai-nilai perjuangan bangsa adalah menghayati kembali nilai-nilai idealism yang bersifat universal, yang berlaku dalam situasi apapun dimanapun. Menilik rumusan nilai-nilai kejuangan yang diformulasikan oleh Dewan Harian Nasional Angkatan 45, maka yang dimaksud nilai-nilai perjuangan adalah semangat yang dilandasi oleh Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, semangat kerja keras, tak pantang menyerah, jiwa nasionalisme dan patriotism, jiwa merdeka dan anti penjajahan, percaya diri yang tinggi, nilai-nilai kepahlawanan, setia kawan, dan keiinginan akan adanya kesatuan dan persatuan bangsa. Saya memahami seminar ini sebagai suatu “panggilan kembali” agar prajurit dan pimpinan TNI tidak bosan-bosannya mengingat, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai dan semangat perjuangan di atas dalam menjalankan tugas sehari-hari.

Dalam kehidupan kita sebagai Prajurit Sapta Marga, keseharian kita juga diikat oleh norma bersama meliputi Sumpah Prajurit dan juga Sapta Marga. Naskah Sumpah Prajurit dan Sapta Marga merefleksikan jiwa dan semangat kejuangan bangsa, yang harus dipelihara terus menerus dan disebarluaskan, diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari tidak saja di kalangan TNI tetapi juga harus diaktualisasikan di tengah-tengah masyarakat dan bangsa secara keseluruhan. Melalui mimbar ini, perkenankan saya mengajak serta Saudara-saudara, para pemimpin dan prajurit TNI untuk memaknai bahwa mengaktualisasikan semangat perjuangan bangsa, pada dasarnya adalah menjalankan Sumpah Prajurit dan Janji Prajurit Sapta Marga secara konsekuen dan konsisten.

Sejak kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945, TNI merupakan kekuatan yang amat penting perannya dalam menjaga dan memelihara kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan pada tahun 1948 ketika Pemerintah RI ditangkap dan ditahan Belanda, TNI lah yang secara kongkrit menunjukkan kepada dunia luar dan dalam negeri bahwa NKRI masih eksis. Adalah karena perjuangan TNI bersama Rakyat bahwa diplomasi dapat memaksa Belanda untuk membebaskan kembali Ibu Kota Revolusi Yogyakarta dan pemerintah RI. Kemudian dilanjutkan dengan pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia. Dalam melaksanakan perjuangan bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya pada tahun 1945 TNI telah mengalami banyak hal yang mengancam eksistensinya. Maka untuk mencapai hasil yang dikehendaki bangsa Indonesia, TNI telah melahirkan Sapta Marga sebagai pedoman hidupnya. Sapta Marga menjadi Jatidiri TNI yang menetapkan bahwa TNI adalah Tentara Nasional, Tentara Professional, Tentara Rakyat dan Tentara Pejuang.

Sebagai Tentara Nasional, TNI harus menunjukkan diri sebagai Tentara milik seluruh bangsa Indonesia, bukan Tentara milik golongan atau suku bangsa tertentu. TNI merupakan kekuatan yang sepenuhnya mengabdi kepada Negara RI. Karena itu TNI dijiwai semangat dan ideologi Negara, yaitu Pancasila. TNI adalah pembela negara yang mengamankannya dari segala macam ancaman, tantangan, rintangan dan gangguan. Sikap nasionalis dan patriotik TNI dan anggotanya tak pernah kendor dan hendaknya dapat mempengaruhi sikap nasionalis dan patriotik bangsa. Kalau negara dan bangsa menghadapi kesulitan, seperti ditimpa bencana, maka TNI adalah paling depan untuk mengatasi masalah itu.

Sebagai Tentara Professional, TNI selalu meningkatkan kemampuan profesionalnya. Hal itu pun berlaku sekalipun menghadapi kendala anggaran yang rendah. Para pemimpin TNI harus selalu mencari jalan bagaimana mengusahakan peningkatan profesional dalam kondisi yang sulit. Kemajuan dan perkembangan profesi militer selalu diikuti dan dipelajari oleh para pemimpin TNI dan diusahakan untuk juga dikuasai TNI. Dengan begitu TNI tidak perlu dan tidak pernah tertinggal dari negara lain, khususnya negara tetangga, dalam pengetahuan dan penguasaan profesi militer. Sebaliknya, TNI juga harus berusaha mengembangkan profesi militer sebagai sumbangannya kepada profesi militer pada umumnya. Semakin tercapai anggaran yang memadai semakin tinggi kemampuan profesi militer TNI di semua matra.

Namun TNI juga Tentara Rakyat yang sadar bahwa kekuatan utamanya terletak pada hubungannnya yang selalu dekat dan erat dengan Rakyat. Kedekatannya dengan Rakyat memberikan kepada TNI dorongan moral dan mental yang berharga dalam menjalankan fungsinya sebagai kekuatan pertahanan yang andal. Sebaliknya TNI selalu sadar bahwa Negara menjadi kuat dan dengan begitu juga TNI, kalau Rakyat sejahtera hidupnya. Rakyat Indonesia yang miskin tidak saja kurang mampu memberikan dukungan kepada TNI, malahan menjadi sumber berbagai masalah yang merugikan negara dan bangsa.

Dan TNI adalah Tentara Pejuang yang tidak kenal menyerah dalam menghadapi berbagai persoalan. Sikapnya sebagai Pejuang akan menular kepada masyarakat sehingga juga bangsa Indonesia selalu kuat menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Sebagai Tentara Pejuang TNI mempunyai rasa tanggungjawab untuk memberikan dukungan dan sumbangannya kepada bangsa dalam perjuangan mencapai tujuannnya, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, maju dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Semangat perjuangan TNI membuatnya selalu mengusahakan yang terbaik dalam apa pun yang dilakukan. Semangat ini hendaknya dapat merangsang seluruh bangsa untuk tiada jemunya memperjuangkan tujuan nasional. Dengan terus menjaga dan memelihara Jatidirinya, TNI akan mampu memberikan dukungan dan sumbangan maksimal kepada perjuangan negara dan bangsa Indonesia mengatasi berbagai masalah, menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan memperkuat Ketahanan Nasionalnya.

Jakarta, 4 Juni 2009

Endriartono Sutarto

Tomography Method

Jika membahas dari arti kata, Tomography berasal dari kata Yunani ’tomos’ yang berarti penampang yang dibelah.

Namun, jika berbicara tentang arti Tomography adalah Melihat tembus’ keadaan dalam tubuh
manusia tanpa harus melakukan operasi pertama kali berhasil setelah ditemukan Sinar-X oleh Rontgen pada tahun 1895. Dengan karakternya yang mampu menembus jaringan tubuh manusia Sinar-X membuat tubuh manusia yang tidak tembus cahaya menjadi ’transparan’. Film hasil Rontgen yang merupakan citra bayangan (proyeksi) dari obyek yang dikenai Sinar-X pada prinsipnya sama dengan sebuah bayangan obyek yang
terbuat dari kaca pada pencahayaan dengan sinar matahari. Sifat ini dimanfaatkan di dunia kedokteran khususnya untuk melakukan visualisasi struktur tulang dan jaringan lainnya terhadap tubuh pasien untuk keperluan diagnosa (Di kutip dari tulisan Dr. Warsito, tentang tomography).

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!